Sunday 27 November 2011

Politik Voyeurisme

KOMPAS, SABTU, 19 NOVEMBER 2011

Politik Voyeurisme

Oleh BUDIARTO DANUJAYA


P
olitik kita penuh sesak prasangka. Sesegera sebuah isu politik diwujudkan jadi sebuah kebijakan, sesegera itu pula bertubi-tubi cerca bertaburan. Padahal, sebelumnya kebijakan ini sebaliknya seolah-olah menjadi tumpuan berjibun harapan publik untuk mengatasi perkara itu. Bahkan, seolah-olah juga darurat sehingga perlu ditempuh segera.

Moratorium remisi hukuman bagi koruptor barangkali contoh paling aktual. Paling-paling sepekan sebelum “niat” atas kebijakan ini dimediakan, sepertinya setiap hari setiap jam setiap menit tak putus celoteh di televisi atas bahaya terlalu empuknya mekanisme remisi bagi gerakan antikorupsi.  Dan dalam celoteh, moratorium remisi laiknya juga tumpuan harapan publik paling afdal pula.
Serupa pula pada banyak perkara lain, mulai dana talangan Century, Darsem, perombakan kabinet, sampai Nazaruddin. Misalnya, bahkan begitu simpang siur bela dan cerca sebelumnya sampai kita bingung Nyasarudin-begitu barangkali ejaan lebih tepat menyebutnya-sebetulnya malaikat atau penjahat.
Politik kita lebih banyak memproduksi prasangka ketimbang sungguh-sungguh menyelenggarakan fitrahnya sebagai upaya koeksistensial sadar dan sengaja untuk menggalang kebersamaan.
Alih-alih menggagas penghadiran kemaslahatan bersama, seperti lomba cepat tepat saja, para pelakunya sibuk adu tangkas mencerca, menyelisik niat terselubung para seterunya.

Demokrasi dan ketakpercayaan

Tentu saja dalam demokrasi selalu ada ketakpercayaan. Para pemikir politik disensus bahkan percaya bahwa demokrasi justru merupakan seni  merawat ketaksepakatan demi melestarikan baku kritik dan kontrol yang penting bagi dinamika rekonstruktif masyarakat. Bahkan, demokrasi justru meruakan seni hidup berdamai dengan antagonis dan konflik.
Meskipun demikian, kiranya juga jelas bahwa dalam demokrasi yang waras, kita tetap harus menyadari perbedaan hakiki antara pendapat yang nalar (episteme) dan yang asal (pistis). Seturut pembedaan Aristoteles itu, tak mengherankan kalau ada yang beranggapan bahwa politik kita tak lebih dari demokrasi kirik-maaf, maksudnya anak anjing. Tak membedakan tukang pos atau maling, semua disalaki karena tak bisa memilah mana benar mana salah, tak bisa memilih mana baik mana buruk.
Apalagi kalau sampai ada yang sepenuhnya percaya bahwa kemarakan celoteh di internet merupakan gelegak demokrasi. Coba tengok penggalangan simpati, uang, dan “nasionalisme” di jejaring social pada perkara Darsem.
Terlepas dari kekejian majikan maupun keberpihakan pengadilan yang mungkin saja terjadi, bisakah kita membunuh tanpa konsekuensi legal sama sekali? Apakah absah nyawa sekadar ditukar harta?
Tidakkah sekurangnya kita perlu “mengadili” kembali agar keadilan senyatanya bagi segenap pihak sungguh-sungguh bisa ditegakkan? Kalau tidak, lalu apa artinya hukum dan hidup sebagai masyarakat di negara hukum?
Tentu saja meladeni kritisisme semacam ini juga akan memancing silang pendapat riuh. Betapapun, sekurangnya kita telah lebih dahulu mencoba mengambil jarak sehingga bisa melihat kedua sisi mata uang dari perkara tersebut dengan lebih dingin dan saksama.
Dengan begitu, kita lebih menggunakan nalar untuk kepentingan publik ketimbang memanfaatkan “nalar” publik.
Dengan begitu, kita akan lebih mungkin memproduksi gagasan mengenai sengkarut hukum dan keadilan secara lebih dalam, kemaslahatan warga negara secara lebih luas, bahkan tanggung jawab etika politik upaya koeksistensial laik politik lebih komprehensif.
Kita harus segera menghentikan cara-cara menggalang massa dan citra politik dengan memompa atavisme primordial publik semacam ini karena justru menyuburkan irasionalitas politik prasangka yang bisa meruyak kemana-mana.

Gosip dan “ngintip”

Lantaran prasangka lebih laku dari nalar, mitip pada sinetron kita, politik kita lalu juga dipenuhi orang-orang yang kesibukannya seolah-olah cuma mengintip seterunya saja.
Lebih dari monolog-interior James Joice, sungguh menakjubkan, mereka seolah bisa tahu strategi, rencana, maneuver, bahkan niat dan naluri busuk terdalam yang bersemayam dalam benak seterunya.
Tak heran kalau debat publik lalu juga lebih banyak menjual ekspertis dalam menguping kasak-kusuk di balik lahirnya sebuah kebijakan ketimbang membahas raison d’etre kebijakan itu sendiri. Alih-alih mendalami sangkut paut kebijakan dengan upaya mngejawantahkan utopia kemaslahatan bersama, mereka sibuk mengusut cela terselubung atau celah tercecer.
Lantaran instan, seperti ramalan fengshui, omongannya serba generik. Kebijakan, strategi, atau maneuver apa pun, misalnya, tanpa banyak pikir segera disangkutkan dengan politik pencitraan atau upaya hukum apa pun buru-buru disengkarutkan dengan pembunuhan karakter. Supaya keren, kerap dibarengi dengan jajak pendapat.
Namun, kalau ada jajak pendapat lain yang kebetulan hasilnya tak sesuai dengan aspirasi, segera dicap gosip politik atau fitnah murahan. Jangan-jangan kita lebih banyak memproduksi gossip politik ketimbang gosip artis.
Entah kapan politik akan mulai kita tempatkan sungguh-sungguh sebagai utopia koeksistensial.
Sebagai semacam politik harapan akan sebuah kebersamaan yang lebih bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi segenap masing-masing warga; yang lebih sadar dan sengaja untuk menarasikan kembali imajineri kolektif kita sebagai bangsa.
Kita harus segera menghentikan cara-cara menghancurkan massa dan citra lawan politik lewat sensasionalisme serebral semacam ini karena cepat atau lambat akan memorakkan entitas norma kolektif kita; memorakkan pilar-pilar ranah publik kita; memorandakan rumah imajineri kolektif kita bersama sebagai bangsa.

BUDIARTO DANUJAYA
Pengajar Filsafat Politik Departemen
Filsafat FIB UI

Negara Pancasila

KOMPAS, SABTU, 1 OKTOBER 2011

Negara Pancasila


Oleh YONKY KARMAN




S
eperti apa negara Pancasila? Dunia sebenarnya ingin melihat wujud konkret negara dengan ideologi unik itu. Beban terbesar pada negara Indonesia untuk membuktikan bahwa ideologi itu bukan hanya bagus dalam rumusan.

Dalam praktiknya, Indonesia lebih akrab dengan definisi “bukan negara agama, juga bukan negara sekuler”. Definisi sempit tersebut hanya melihat Pancasila dalam kerangka relasi antara agama dan Negara. Bahkan, definisi neithernor itu menjadi apologi penguasa dan sesungguhnya tidak operasional.
Menyikapi kegagalan negara untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan pencapaian terukur, pemerintah berkilah bahwa pencapaian dunia akhirat juga penting. Menyikapi gangguan ekstremis agama, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama.
Watak sekuler negara ditonjolkan dengan konstitusi yang tidak didasarkan pada suatu agama dan juga dengan terbukaan terhadap modernitas.

Problem menegara

Identitas negara yang serba negatif itu membuat gerak Indonesia berayun di antara dua ideologi, tidak bergerak maju membawa bangsa keluar dari jerat kemiskinan dan korupsi. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak memiliki cita-cita untuk diperjuangkan bersama.
Sejatinya, Pancasila adalah soal perjuangan. Untuk itu, penyelenggara dan warga negara harus Pancasilais.
Kelalaian bersama selama ini adalah melihat Pancasila hanya sebagai dasar negara. Negara dilihat sebagai sebuah bangunan statis. Dengan tersedianya fondasi negara, seolah-olah selesai juga bangunan bernama Indonesia.
Namun Driyarkara memandang negara sebagai entitas politik yang dinamis, bagian dari aktivitas manusia dalam menegara. Negara Indonesia harus menegara bersama Pancasila.
Dalam perspektif menegara, kokoh tidaknya bangunan Indonesia bergantung pada seberapa jauh Pancasila sebagai ideologi yang hidup, terinternalisasi dalam perilaku penyelenggara dan warga negara. Begitulah Pancasila merupakan imperatif kategoris (norma) menegara.
Saat gonjang-ganjing bahwa Pancasila sudah ditinggalkan, pemerintah hanya melihatnya sebagai masalah sosialisasi dan kurikulum sekolah. Pancasila menjadi lebih sering tersua di media massa dan disebut-sebut dalam berbagai forum. Krisis ideologi yang begitu serius dan telah menelan korban jiwa dianggap selesai hanya dengan sosialisasi dan revisi kurikulum.
Problem serius Indonesia sekarang adalah mati surinya ideologi. Pancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. Ketika negara tidak Pancasilais, rakyatlah yang pertama-tama menderita.
Cukup banyak rakyat menjadi korban kekerasan karena penguasa tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang lebih lemah. Negara hanya menjadi pemadam kebakaran sosial atau, lebih buruk lagi, penonton.
Oleh karena itu, warga pun sulit melihat relevansi langsung antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari. Publik apatis dengan kesaktian Pancasila, yang seolah-olah hanya sakti untuk menghadapi komunisme pada masa lampau. Bersaing dengan fundamentalisme pasar dan funda-mentalisme agama, Indonesia termasuk negara yang mudah berada dalam cengkeraman (soft country) kapitalisme global dan paham keagamaan transnasional.

Negara yang mengelak

Pancasila sebenarnya cukup ampuh menangkal ideologi asing sebab nilai-nilainya diangkat dari kultur bangsa. Namun, mengacu Driyarkara, Pancasila tidak boleh hanya berhenti pada nilai-nilai luhur (ideifikasi), tetapi harus diperjuangkan menjadi konkret (idealisasi). Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide, tetapi harus menjadi cita-cita bersama.
Tanpa ideologi yang asertif, Indonesia sulit membendung penetrasi ideologi asing yang membuat Indonesia terpuruk dan sulit bangkit menjadi bangsa besar. Kita tetap akan dibicarakan sebagai negeri kaya dan bangsa yang berpotensi menjadi besar. Namun, kita tidak menjadi bangsa yang tangguh dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Oleh karena itu, menjadi Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan dalam agama. Pancasila bukan agama, meski juga tidak bertentangan, melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi besar bukan karena agamanya-banyak bangsa juga beragama-melainkan karena hidup sebagai insan Pancasilais, dengan Pancasila sebagai ideologi pembentuk moralitas bangsa.
Pancasila seharusnya menentukan perilaku penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit mengharapkan warga Pancasilais.
Dalam pasar bebas ide, warga akan lebih tertarik dengan ideologi alternatif. Sekularisme, hedonisme, materialisme, dan seterusnya. Sebagai ideologi tengah, Pancasila seharusnya menjadi pembeda Indonesia, asalkan nilai-nilainya dihayati secara menyeluruh dan konsisten.
Entah sampai kapan Indonesia seperti mengelak untuk dikenal dengan identitas tunggal positif atau profil ambigu itu dipertahankan. Jangan sampai muncul kesimpulan bahwa Indonesia tidak sekuler tetapi juga tidak religius. Tidak cukup hanya rakyat yang dituntut Pancasilais.
Harus ada sanksi tegas bagi kepemimpinan publik yang tidak Pancasila atau yang memakai rujukan lain yang bertentangan dengan Pancasila dalam memimpin.
Dalam negara Pancasila, mestinya kebebasan melaksanakan ibadah dihormati dan dijamin sejauh kebebasan itu tak melanggar tertib umum. Toleransi di Indonesia tidak boleh lebih buruk daripada di negara komunis atau sekuler.
Hukum agama tidak boleh ditinggikan di atas hukum sipil seharusnya bebas dari bias agama. Tidak boleh ada kelompok minoritas yang menjadi target viktimitisasi.
Dalam negara Pancasila, keadilan sosial seharusnya menjadi cita-cita bersama. Pemerintah berdiri di garis depan membongkar struktur-struktur yang memiskinkan rakyat. Negara menjadi regulator yang adil bagi rakyat untuk memiliki akses kepada kekayaan negeri. Tanggung jawab kita semualah mewujudkan negara Pancasila.



YONKY KARMAN
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta

Indonesia 2050 seperti Apa?

KOMPAS, SENIN, 17 OKTOBER 2011

Indonesia 2050 seperti Apa?

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF




D
engan jumlah warga sekitar 400 juta pada tahun 2050-jika pertumbuhan penduduk 1,48 persen per tahun berkelanjutan-Indonesia mungkin akan menggeser posisi Amerika Serikat yang kini berada di peringkat ketiga-setelah China dan India-dengan jumlah penduduk 325.000.000, berkat program keluarga berencana yang dijalankan.

China dan India dengan penduduk ma-sing-masing 1,3 miliar dan 1,1 miliar tampaknya akan tetap berada di puncak saat penghuni planet Bumi ini mencapai 9.850 juta (mendekati 10 miliar) tahun itu. Para pakar demografi umumnya mencemaskan laju pertumbuhan penduduk yang dahsyat itu jika negara-negara di dunia tidak cukup awas memperhitungkannya lebih awal. Hanya tersisa 39 tahun menjelang umat manusia berada pada angka yang mencemaskan itu. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali pasti akan mengundang masalah-masalah serius yang sulit diperkirakan akibatnya.

Mengapa demikian?

Kritik yang sering disampaikan diantaranya tebersitnya nuansa pesimisme dalam tulisan dan pernyataan-pernyatan yang berasal dari saya di berbagai forum dan media. Penilaian itu tentu mengandung unsur kebenaran. Namun, jika orang membaca latar belakang mengapa saya bersikap demikian, kadar tudingannya mungkin akan menurun.
 Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada tahun 2050, pertanyaan mencekam yang sering mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang berlaku sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni? Kemudian, dengan semakin dalam cakaran kuku asing di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan Indonesia yang sangat kumuh, kondisi bea cukai yang semrawut, dan perilaku korup politisi dan pengusaha hitam, apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sama sekali? Atau kita sudah menjadi budak rumah kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan.
Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia, bahkan dengan penuh kebanggaan perasaan syukur tetap menyertai kehidupan saya yang sekarang berusia 76 tahun. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang teramat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Sebut misalnya keadilan untuk semua warga, kondisinya jelas semakin memburuk dari hari ke hari, sementara mereka yang berada di puncak piramida adalah penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas. Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini? Biarlah publik yang menilai, apakah lontaran-lontaran kegemasan saya didasarkan pada ketulusan atau ada agenda tersembunyi yang ingin diraih, saya tidak hirau. Monggo ke mawon, kulo mboten kesah.
Fakta di bawah ini perlu mendapat perhatian. Coba kita turunkan angka-angka kerusakan lingkungan fisik ini, belum lagi kerusakan budaya yang permisif untuk kejahatan. Menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2003, laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Maka jadilah Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan ter-tinggi di muka Bumi.
Lagi, berdasarkan data resmi 2006, luas hutan yang rusak dan tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Anda tinggal mengalikan saja-jika tidak ada politik tegas dan keras yang diterapkan-bagaimana kira-kira Indonesia pada tahun 2050.
Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia. Berlaku tali temali di sini antara mengejar keperluan primer dan kerusakan lingkungan sebagai akibatnya. Buntut dari kerusakan lingkungan ini amatlah jauh: habitat hewan dalam berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia. Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur beran-takan.
Sebagai negara kepulauan yang cantik, Indonesia masih menyisakan sekitar 10 persen hutan tropis dunia. Hutan Indonesia memilki 12 persen dari jumlah spesies binatang reptil dan amfibi. Dihuni pula oleh 1.519 jenis burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Kita tidak bisa membayangkan jika kerusakan lingkungan, darat, laut, dan udara, berjalan seperti sekarang, bahkan mungkin semakin ganas, bagaimana nasib spesies-spesies itu pada tahun-tahun mendatang. Masihkah kita bangga sebagai manusia beradab mengacu pada sila kedua Panca-sila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Mohon dijawab pertanyaan ini dengan bahasa hati, tidak dengan bahasa kepentingan.
Dari sumber Wahana Lingkungan Hidup Indonesia kita disuguhi fakta kerusakan yang tidak boleh dianggap sepele. Di perbukitan Bandar Lampung, misalnya, kerusakan hutan mencapai 80 persen, umumnya oleh warga demi kelangsungan hidup mereka. Di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dari 100.000 hektar hutan bakau, 50 persen dalam kondisi rusak. Penyebab utamanya adalah perluas-an tambak yang tak terawasi dengan baik, di samping oleh kegiatan pertambangan minyak/gas yang beroperasi di kawasan itu.
Sebenarnya tidak ada sebuah pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan. Di Jawa, salah satu kawasan terpadat di muka Bumi, yang didiami 59 persen penduduk Indonesia, lahan persawahan dan perkebunan sudah kian habis, berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pergudangan, dan lain-lain. Jika distribusi penduduk tak mengalami pemerataan, pada 2050 tidak mustahil Pulau Jawa akan jadi kering kerontang di tengah lautan ke-miskinan golongan paria.

Kelapa sawit sumber devisa?

Tahun-tahun belakangan ini penanaman kelapa sawit digalakkan. Pada pertengahan 2010 di Indonesia terdapat 7,5 juta hektar perkebunan sawit, 40 persen milik rakyat, sementara di seluruh dunia hanya 13,1 juta hektar. Sawit menghasilkan 21,5 juta ton CPO (crude palm oil) per tahun. Diperkirakan tahun 2014 luas kebun sawit akan mencapai 10 juta hektar, sebuah sumber devisa yang tidak kecil.
Namun, berbeda dari tanaman karet yang dapat meresap air, kelapa sawit sebaiknya. Tanah sekitar akan jadi gersang, sumber-sumber air mengalami kematian. Jadi, rencana perluasan perkebunan kelapa sawit harus benar-benar dikaji agar tak terjadi serba kontradiksi ini: devisa mengalir, sementara lahan sekitar kekurangan air. Air dimana pun adalah sumber kehidupan paling utama.
Dengan penduduk 241 juta pada tahun 2011 saja Indonesia telah keteteran oleh berbagai masalah yang berimpit. Pada tahun 2050, jika rahim Nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan, karena yang berkeliaran adalah politisi rabun ayam plus pengusaha tunamoral, Anda bisa membayangkan kira-kira seperti apa Indonesia pada tahun itu. Apakah pada tahun itu cucu-cucu kita masih bisa tersenyum atau mereka harus meratapi nasib malangnya sebagai ekor ulah buruk dari generasi yang melahirkannya.



AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum
PP Muhammadiyah

Einstein Tak Menemukan Tuhan

Judul Buku      : Einstein Membantah Taurat & Injil
Penulis             : Wisnu Arya Wardhana
Penerbit           : Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Cetakan           : 1, 2008
Tebal               : xxxiv + 258 Halaman



Einstein Tak Menemukan Tuhan
                                               
Oleh A. Yusrianto Elga


ALBERT EINSTEIN adalah salah satu sosok pemikir yang sangat dikagumi sekaligus sangat dibenci di pengujung abad 20 dan bahkan hingga kini. Kenapa demikian? Karena selain penemuan-penemuan spektakulernya di bidang sains dan teknologi yang sulit ditandingi oleh para ilmuwan pada masanya, Einstein kerap melancarkan kritik pedas pada gereja dan doktrin-doktrinnya yang dianggap tidak rasional. Menurut Einstein, gereja telah melakukan “pembodohan masal” dengan konsep ketuhanan yang tidak masuk akal.
Kritik yang disampaikan Einstein tersebut sebenarnya berangkat dari kegelisahannya ihwal eksistensi Tuhan yang tak kunjung ditemukan. Ia tidak puas dengan sosok Tuhan yang dipersonalkan atau digambarkan mirip manusia (antropomorfisme) dalam Kitab Injil. Selain itu, ia juga mengkritik filsafat ketuhanan yang dikembangkan oleh gereja yang terkenal dengan istilah Trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Sampai akhir hayatnya, Einstein belum menemukan jawaban yang rasional terkait dengan filsafat ketuhanan tersebut.
Dalam logika Einstein yang mendasar pikirannya pada fisika dan matematika, Tuhan yang dipersonalkan jelas tidak masuk akal. Karena itu, ia dengan tegas menolak, “Tentang Tuhan saya tidak dapat menerima suatu konsep apa pun yang berdasarkan otoritas gereja. Sepanjang yang saya ingat, saya membenci indoktrinasi masal. Saya tidak mengimani karena takut akan kehidupan, takut akan kematian, maupun iman yang buta...” (hal 153).
Pernyataan Einstein tersebut tak pelak membuat panas telinga para pemuka agama Nasrani. Ia dianggap mengingkari Al-Kitab yang seharusnya diimani tanpa harus diperdebatkan lagi. Enstein memang cukup berani membongkar sekian ayat yang terdapat dalam kitab Injil yang tidak sesuai dengan nalar logikanya. Ia sama sekali tidak mengimani Injil sebagai sabda Tuhan karena sepanjang penelitiannya terdapat pertentangan antara Injil yang satu dengan yang lainnya. Dalam Injil Yohanes, misalnya, Einstein melihat ada pertentangan ayat yang sangat mendasar dengan Injil Barnabas (The Gospel of Barnabas) yang naskah aslinya ditemukan di The Emperial Library Wina, Austria. Atas dasar inilah Einstein semakin tidak yakin akan kebenaran Injil. Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika Paus St. Glasius I bertahta pada 492-496, Vatikan secara resmi melarang Injil Barnabas beredar dan dibaca oleh umat Kristiani.
Einstein menilai keputusan tersebut sangat paradoks dan sulit siterima oleh akal sehat. Sehingga dengan lantang ia menuduh Paus telah melakukan campur tangan dalam penulisan Injil.
Kritk pedas inilah yang membuat Vatikan kegerahan. Einstein diangap terlalu berlebihan dan mengada-ada. Pihak gereja kemudian bergerak lebih cepat untuk menyikapi apa yang telah dikemukakan pemikir yang berpengaruh itu agar tidak mereduksi keimanan umat Kristiani di seluruh dunia.
Seorang pemuka Nasrani yang berasal dari Lutheran Church of Our Savior, yakni pendeta Carl F. Weldman menanggapi dengan keras pendapat Einstein yang menolak Tuhan dipersonalkan, “Tidak ada Tuhan selain Tuhan personal! Einstein tidak mengetahui apa yang sedang diucapkannya. Dia salah total!” (hal. 165). Dalam pandangan Carl F. Weldman, pernyataan Einstein bukanlah termasuk bagian dari pencarian hakiki akan eksistensiNya. Akan tetapi hanyalah sebentuk provokasi yang tidak disadari oleh iman yang kuat.
Sri Paus Yohanes Paulus II yang bertahta di Vatikan juga ikut menyerang Einstein: ”Menginginkan bukti-bukti ilmiah tentang Tuhan sama dengan merendahkan Tuhan ke derajad wujud-wujud dunia kita dan karenanya kita akan keliru secara metodologis berkenaan dengan apa itu Tuhan. Sains harus mengakui batas-batasnya serta ketidakmampuannya untuk mencapai eksistensi Tuhan, ia tidak bisa mengukuhkan ataupun mengingkari eksistensiNya...” (hal 169).
Semua umat Kristiani yang menerima filsafat ketuhanan dengan modal iman jelas menganggap Einstein sebagai pengingkar (kafir). Ilmuan peraih nobel yang pada akhir hayatnya kedua bola matanya dijugil untuk diawetkan itu dituduh atheis karena logika berpikirnya tidak sejalan dengan Al-Kitab.
Tuduhan yang sama sebenarnya juga dilancarkan oleh para pemuka agama Yahudi yang menganggap Einstein anti-Tuhan karena telah berani menolak untuk menjalani bar mitzvah, yaitu upacara untuk menjadi komunitas orang Yahudi. Sebagaimana diulas oleh Wisnu Arya Wardhana dalam buku ini, sejak kecil Einstein memang hidup dengan “dua agama”: Yahudi dan Katholik. Jika pada pagi hari ia belajar agama Katholik di Katholik Petersschule, sedangkan sorenya ia menerima pelajaran agamaYahudi dari Alexander Moszkowski, guru privat yang sengaja didatangkan oleh orang tuanya (hal 45).
Dengan demikian, Einstein sudah mempelajari dengan cukup cermat isi Kitab Talmud (Taurat) dan isi Al-Kitab (Injil) sejak ia masih kecil, yakni saat masih berumur tujuh tahun. Walaupun pada saat itu ia belum berani melakukan koreksi terkait beberapa ayat yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya.
Hidup dengan dua agama bukanlah sesuatu yang aneh bagi Einstein. Ia belajar agama Yahudi karena termasuk agama leluhurnya, sedangkan pelajaran Katholik ia dalami tak lain karena pencariannya akan eksistensi Tuhan. Namun sepanjang yang dipelajari Einstein dari kedua Kitab Suci tersebut, yakni Taurat dan Injil, sosok Tuhan yang sesuai dengan jalan pikirannya tak juga ditemukan.

Gaya Hidup

KOMPAS, SABTU, 19 NOVEMBER 2011

GAYA HIDUP

Apa yang Dapat Diteladani dari Pejabat Publik?

N
egarawan yang rendah hati dan bersahaja. Itulah kesan George McTurnan Kahin, Indonesianis dari Cornell University, Amerika Serikat, terhadap Mohammad Natsir yang diemuinya pada 1948 di Yogyakarta. Jas penuh tambalan yang saat itu dikenakan Natsir hampir tidak menunjukkan sosok Natsir sebagai Menteri Penerangan.
Penampilan sederhana tetap dipertahankan Natsir saat menjadi Perdana Menteri (PM) pada 1950-1951. Sebelum menempati rumah bekas Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi), Jakarta, Natsir dan keluarganya menumpang di sebuah rumah di Jalan Jawa, lalu di kawasan Tanah Abang.
Natsir juga hanya memiliki sebuah mobil pribadi bermerek DeSoto yang telah kusam. Ketika ditawari mobil sedan mewah buatan Amerika Serikat pada 1956, dengan halus Natsir menolaknya. Kesederhanaan Natsir, juga pendiri bangsa lainnya, seperti Bung Hatta, diyakini menjadi keutamaan yang harus dimiliki oleh pejabat publik.
Di Malaysia, kesederhanaan pejabat publik, antara lain, dimunculkan dengan menggunakan mobil nasional, yaitu Proton. Sejak era Mahatir Mohammad, mobil dinas PM Negara itu adalah Proton Perdana, yang harga pasarannya Rp 350 juta. Artinya harga tiga Proton Perdana setara dengan sebuah Toyota Crown Royal Saloon, mobil dinas pejabat tinggi Indonesia, yang harga pasarannya di aias Rp 1 miliar.
Pejabat India menggunakan kendaraan dinas Tata Ambassador. Mobil mirip Fiat produksi Italia tahun 1970-an itu juga wajib berwarna putih agar dapat meredam cuaca panas. Harga mobil itu sekitar Rp 100 juta. Walaupun mobil dinasnya sederhana, ada anggota parlemen India yang menjadi pemilik maskapai penerbangan Kingfisher.

‘Namun, pejabat publik di India dan Malaysia saat menjalankan tugasnya tetap dituntut berpenampilan sederhana karena mereka sadar harus dapat menjadi teladan bagi rakyat.’

Bagaimana di Indonesia? Di DPR saja berjajar mobil mewah diparkir. Nudirman Munir, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, bilang, ada pertimbangan keamanan dan kenyamanan ketika memilih mobil. “Jikan naik Toyota Alphard, kami dapat rapat di dalam mobil karena di dalam mobil itu ada meja. Kalau naik mobil (menyebut merek lain) yang jalan 80 kilometer per jam saja sudah goyang, akan banyak anggota DPR yang meninggal karena kecelakaan,” kata Nudirman.
Anggota DPR, kata Nudirman, seharusnya tidak dilihat terutama dari mobil yang dipakai, tetapi kinerjanya bagi rakyat. “Kalau anggota DPR hanya datang, duduk, diam, dan duit, tidak ada artinya buat rakyat,” katanya.
Benarkah? Terkait kinerja DPR, saat berpidato dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (14/10), Ketua DPR Marzuki Alie menuturkan, “Dewan sangat menyadari penyelesaian berbagai rancangan undang- undang (RUU) masih jauh dari target.”
Menurut Marzuki, sepanjang tahun 2011, DPR menyelesaikan 22 RUU. Di masa sidang saat ini, yang berakhir pada 18 Desember, diharapkan ada 5-6 RUU yang memasuki pembicaraan tingkat II. Jika harapan itu terpenuhi, maksimal ada 28 RUU diselesaikan. Padahal, ada 70 RUU yang menjadi prioritas program legislasi nasional tahun 2011. Dalam pidatonya, Marzuki berharap DPR memperhatikan UUD 1945 saat membuat UU. Sebab, banyak pasal dalam UU yang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi dan kemudian dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Sebelum berpidato, Marzuki menyatakan, anggota DPR tidak pernah mau introspeksi diri.
Pernyataan itu muncul karena saat membuka rapat paripurna pada pukul 09.45, atau molor 45 menit dari jadwal dimulainya rapat pada pukul 09.00, hanya sekitar 50 anggota DPR di ruang rapat. Akibatnya, rapat harus diskors karena belum kuorum.
Pada pukul 10.00, rapat kembali dibuka. Saat dicek wartawan, sekitar pukul 10.15, baru 241 anggota DPR yang menandatangani absensi. Itu berarti belum mencapai 50 persen tambah satu atau 281 orang, seperti ketentuan kuorum dalam Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Pada Kamis sekitar pukul 10.15, sejumah pimpinan media massa juga meninggalkan ruang rapat Pansus RUU Perubahan atas UU 2/2011 tentang Partai Politik. Pasalnya hingga jam itu rapat yang dijadwalkan pukul 09.00 belum dimulai juga.
Lalu, kinerja dan teladan positif apa yang dapat dicontoh dari pejabat publik Indonesia, khususnya para anggota DPR? Rasanya mustahil menemukan keteladanan Natsir, Hatta, atau tokoh lainnya. (M. HERNOWO)

Ada Radikalisme Kedaerahan

KOMPAS, SABTU, 1 OKTOBER 2011


Ada Radikalisme Kedaerahan

Hotman: Revitalisasi Nilai Kebangsaan Lemah

SURABAYA, KOMPAS – Tumbuhnya radikalisme kedaerahan pada saat ini jauh lebih berbahaya bagi kehidupan kebangsaan dibandingan radikalisme dalam konteks lain, termasuk keagamaan. Ini dikatakan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Hotman M Siahaan, di Surabaya, Jumat (30/9).


Menurut Hotman, radikalisme dalam konteks kedaerahan ini salah satunya dipicu oleh otonomi daerah. Walaupun sebenarnya otonomi daerah itu sebagai perwujudan demokrasi, tetapi karena lemahnya revitalisasi nilai-nilai kebangsaan, akhirnya malah berkembang dalam bentuk radikalisme.
Hotman mengatakan, benih radikalisme selalu tumbuh pada kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Masyarakat yang merasa dizalimi negara. Bisa juga karena merasa bahwa sistem nilai yang sudah ada tidak lagi mempu menjawab perkembangan zaman sehingga menuntut adanya sistem nilai baru.
Dia mencontohkan adanya kelompok yang mengemas radikalisme di dalam konteks agama. Dengan demikian, nilai-nilai agama dipandang lebih sempurna daripada sistem ideologi yang ada. Kehidupan politik juga memberi kesempatan radikalisme demikian tumbuh. Terjadilah kerancuan dalam kehidupan politik karena politik itu punya ranah abu-abu, sementara agama hanya mengenal hitam-putih.
“Repotnya lagi, pemerintah memberi peluang tumbuhnya radikalisme. Bahkan terkesan membiarkan. Sehingga kini berkembang kelompok-kelompok radikal baru,” katanya.
Menurut Hotman, untuk mencegah merebaknya radikalisme, harus dilakukan revitalisasi Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok intelektual harus melakukan upaya revitalisasi ini untuk menyelamatkan keindonesiaan.
Sementara itu, muncul pendapat, bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu lalu, menunjukkan kelompok teroris masih terus menyebarkan ideologinya dan mengader generasi baru. Untuk itu, pemerintah didesak lebih giat lagi melakukan program deradikalisaasi dengan metode yang tepat sehingga bisa mencegah progres regenerasi kelompok garis keras tersebut.
Harapan itu disampaikan mantan aktivis Jemaah Islamiyah, Nasir Abbas; mantan santri Pondok Pesantren Ngruki, Noor Huda; dan pengamat terorisme yang sekaligus mantan aktivis Negara Islam Indonesia Komendemen Wilayah IX, Al-Chaedar, secara terpisah, di Jakarta, Jumat (30/9). Mereka menanggapi bom bunuh diri yang terus berulang di Indonesia dalam 10 tahun ini. Aksi terbaru, bom bunuh diri diledakkan Ahmad Yosepa alias Hayat di GBIS Solo, pekan lalu.
Nasir Abbas menilai, ledakan bom di Solo itu menggambarkan paham garis keras masih ada dan ancamannya nyata. Lebih dari itu, kemunculan Ahmad Yosepa, yang meledakkan diri, juga memperlihatkan keberadaan jaringan Cirebon. Ini merupakan salah satu jaringan kecil hasil sempalan dari organisasi teroris yang lebih besar.
“Jaringan Cirebon itu lebih banyak belajar membuat bom dari bacaan sendiri dan internet. Bisa jadi aksi mereka itu hasil kepurusan interen kelompok dan bukan hasil keputusan organisasi besar,” katanya.
Menurut Noor Huda, sebenarnya Hayat termasuk generasi baru teroris yang direkrut sekitar 2007 atau 2008. Dia belajar dari sisa-sisa jaringan murid Noordin M Top yang belum tertangkap Densus 88.
Al-Chaedar menyoroti program deradikalisa-si pemerintah. Munculnya bom bunuh diri yang terus berulang beberapa tahun belakangan menggambarkan bahwa program itu perlu dievaluasi. Salah satunya, program itu dianggap terlalu kaku sehingga justru sulit untuk memasuki alam pemikiran kaum ekstremis. Karena itu, metodenya perlu dibuat lebih fleksibel sehingga bisa menyentuh kelompok-kelompok garis keras.

Tuesday 22 November 2011

“Antihero”

KOMPAS, SABTU, 12 NOVEMBER 2011

“Antihero”

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY


S
alah seorang Pahlawan Nasional, Syafruddin Prawiranegara, pernah jadi presiden. Kelahiran Serang, 28 Februari 1911, yang wafat dalam usia 77 tahun ini, adalah Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia saat pemerintah jatuh ke tangan Belanda saat agresi Desember 1948.
Penetapan gelar Pahlawan Nasional untuk Syafruddin membuka peluang meluruskan sejarah kepresidenan kita. Syafruddin presiden kedua setelah Soekarno yang memimpin PDRI sejak Desember 1948 sampai Juli 1949.
Jangan lupa, ada pula yang ketiga, yakni Pejabat Presiden Asaat Datuk Mudo yang memerintah Desember 1949 sampai Agustus 1950. Jika merujuk kepada fakta-fakta sejarah ini, kita sudah dipimpin oleh delapan-bukan enam-presiden.
Seperti biasa, muncul pro dan kontra tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional. Keluarga, kerabat, dan pendukung Soeharto dan Abdurrahman Wahid kembali kecewa karena untuk kesekian kalinya gagal memperoleh gelar bergengsi itu.
Pemberian gelar ini terlanjur menjadi isu politik yang pelik, yang bukan sekadar jadi kepentingan keluarga, kerabat, dan pendukung saja. Ia bukan tak mungkin melibatkan pula kepentingan penguasa, partai, provinsi, dan juga SARA.
Ia jadi isu politik karena ada pula berbagai syarat perundangan dan birokratis yang membuat penetapannya makin mengernyitkan dahi. Misalnya syarat yang bersangkutan harus dicalonkan provinsi atau butuh pengakuan tertulis para saksi.
Betapapun, kurang pas menyalahkan pemerintah dalam penetapan gelar-gelar karena faktor subyektivitas tetap ada. Kontroversi penetapan gelar-gelar di zaman Orde Lama mungkin belum terlalu pelik karena republik masih muda dan yang ditetapkan masih sedikit.
Namun, kontroversi itu menjadi-jadi sejak masa Orde Baru. Di satu pihak ada mereka yang dicabut gelarnya karena faktor-faktor politis, di lain pihak juga terdapat kesan begitu mudahnya “mengobral” gelar untuk siapa saja.
Pertanyaan yang menggelitik saat merayakan Hari Pahlawan 10 November adalah mengapa kita butuh pahlawan? Salah satu jawabannya adalah pahlawan inspirasi bagi kita semua ketika sendi-sendi kehidupan semakin keropos.
Suasana batin itulah yang dirasakan bersama sejak kita memasuki era Reformasi 1998. Bagi sebagian kita, pahlawan kita saat ini para atlet SEA Games yang penyelenggaraannya baru saja dibuka resmi kemarin. Mereka menyandang beban membangkitkan kembali prestasi olahraga kita yang terpuruk di ajang SEA Games sejak tahun 1999, setahun setelah Reformasi.
Beban para atlet semakin berat karena dana SEA Games dikorupsi sehingga persiapan penyelenggaraan mengundang tanda tanya. Kira-kira apa yang bakal terjadi andai mereka gagal?
Kemungkinan besar kita tentu kecewa dan bukankah kita sudah berulang kali dikecewakan oleh para “pahlawan” selama era Reformasi?
Kita mengira Badu pemimpin yang mengayomi, ternyata ia cuma memperkaya diri. Kita menyangka Polan punya nurani, tetapi belakangan ketahuan ia ternyata tak punya hati.
Kita mengharapkan kedatangan Satrio Piningit atau Ratu Adil. Namun, yang kita sambut hanya pemimpin yang merasa bak raja.
Kita memang menyambut kelahiran presiden, menteri, gubernur, wali kota, sampai bupati yang “istimewa”. Kita tak menyadari mereka cuma manusia biasa saja, yang tampak amat menonjol karena di zaman acakadut ini.
Itu salah kita sendiri karena sekarang ini memang bukan lagi zaman pahlawan, tetapi zaman “antihero”. Ya, di negeri ini makin hari makin banyak antipahlawan.
Antihero adalah figuran-figuran yang merasa larger than life. Mereka merasa lebih atraktif, lebih kuat, lebih berani, lebih pandai, dan lebih karismatis dibandingkan kita manusia biasa.
Tak sukar mengenali mereka karena mereka tampil setiap hari di media massa. Mereka hanya jago berbicara tentang semua perkara, kecuali urusan yang justru jadi tanggung jawabnya.
Dan, jika belajar dari Syarifuddin atau Assat atau para pendiri republic, kita butuh kepemimpinan karismatis. Sayangnya, karisma merupakan bakat yang hanya dipunyai pemimpin besar macam Adolf Hitler, Martin Luther King, Winston Churchill, Fidel Castro, Nelson Mandela, atau Evita Peron.
Di negeri ini pemimpin karismatis adalah the founding fathers pasca-kemerdekaan. Mereka mempunyai karisma bagaikan sumber mata air bening yang tidak habis-habisnya.
Karisma membujuk, tidaklah memaksa. Menurut Joseph Nye dalam buku The Powers to Lead, karisma bersumber dari individu, para pengikutnya, dan situasi masyarakatnya. Sosiolog Max Weber mengatakan, karisma merepresentasikan cita-cita yang bisa diaplikasikan.
Kita butuh kepemimpinan, bukan kepahlawanan. Kita butuh keteadanan, bukan kepahlawanan.
Apakah asumsi ini kiranya berlebihan? Rasanya tidak karena kita memang tak lagi punya panutan.
Tak ada pemimpin yang bisa dijadikan sebagai panutan untuk hal-hal yang bersifat keseharian. Tak ada pemimpin bergagasan besar yang sanggup melahirkan kebangkitan serta kedaulatan.
Kalau antipahlawan, kita tidak akan pernah kekurangan. Mereka ibaratnya mati satu tumbuh seribu dan akan selalu tetap menggiring kita tersesat masuk ke hutan.
Maaf, di negeri ini memang nyaris tak ada lagi pahlawan. Saya kasihan kepada siapa pun yang akan memimpin tahun 2014 karena negeri ini selama sekitar tujuh tahun terakhir makin berantakan.

Sunday 20 November 2011

Zaman Kleptolitikum

KOMPAS, SABTU, 12 NOVEMBER 2011

Zaman Kleptolitikum

Oleh ACHMAD M AKUNG

J
ika kita berkenan menengok masa lalu sejarah peradaban umat manusia, kita pasti akan bersua dengan peradaban batu.


Manusia pada zaman itu konon masih bernama manusia purba dengan peradabannya masih terbelakang. Hari ini, di zaman modern yang ditopang kemajuan iptek, kita biasa mengaku sebagai Homo sapiens: spesies terbaik yang dianugerahi akal budi, sebuah peranti yang membuat manusia mampu meng-“ada”, mengemban amanat peradaban di muka bumi.
Namun, apabila kita berkenan jujur berkontemplasi, dalam konteks keindonesiaan, peradaban modern yang kita bisik-bangun itu ternyata tak serta-merta membawa kebahagiaan. Kehalusan akal budi dan budaya yang adiluhung itu belum mampu mengantarkan kita pada kehidupan yang sejahtera.
Hari ini kita mungkin tengah resah dan gundah akibat kegaduhan dan karut-marut di hampir semua lini kehidupan. Negeri yang kaya raya ini kini menjelma jadi rumah besar tempat bersemainya benih kerakusan.
“Tajuk Rencana” Kompas edisi 15 Oktober 2011 dengan bernas meminjam Mancur Olson dalam Power and Prosperity (2000), mengabstraksikan para bandit yang menjarah-rayah negeri ini. Dari praksis kekuasaan, korupsi menular layaknya wabah yang menjangkiti peradaban negeri kita. Setiap ceruk kehidupan nyaris tiada yang kebal dari wabah ini.

Peradaban yang membatu

Perlahan tapi pasti kita tengah memasuki sebuah zaman yang penulis metaforakan sebagai “zaman kleptolitikum”. Kleptolitikum adalah sebuah zaman dengan peradaban yang sesungguhnya tidak beradab akibat kleptolitikum yang menjangkiti kuasa politik dan hukum di negeri ini.
Secara kasatmata, peradaban di zaman kleptolitikum tampak sangat glamor, mewah, dan modern. Namun, sesungguhnya ia tidaklah jauh lebih baik daripada peradaban zaman batu dahulu. Keserakahan, kerakusan, dan ketamakan telah membutakan mata hati dan membatukan nurani sehingga membuat kita alpa bicara soal moralitas dan etika.
Kleptomania adalah gangguan kejiwaan. Berakar dari diksi Yunani, kleptein, yang biasa dimaknai ‘mencuri’, serta mania yang bermakna ‘kegemaran’. Penyakit jiwa ini membuat penderitanya tak bisa menahan diri untuk tidak mencuri.
Kleptomania di zaman kleptolitikum selalu merasakan ketegangan subyektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah menggondol jarahannya. Celakanya, dorongan ini persisten sehingga selalu mencari jalan, strategi, dan cara apa saja agar dorongan tamak mencuri bisa terpuaskan.
Tidak seperti kleptomania asli yang suka mencuri benda yang remeh-temeh dan tidak berharga, kleptomania di zaman kleptolitikum di negeri ini mencuri dari kantong harta negara justru dengan mengatasnamakan daulat rakyat.
Daulat rakyat sesungguhnya titah tertinggi bagi setiap negeri demokrasi. Sayangnya, atas nama demokrasi, para politisi justru acap kali membajak daulat rakyat. Mereka menyaru jadi wakil rakyat justru untuk jadi calo anggaran, mamainkan kartel dan oligarki politik.
Huruf “n” pada kata dewan (house of representative), yang semestinya bermakna nurani, ditanggalkan sehingga mereka berlaku seperti “dewa”. Dalam mitologi Yunani, dewa adalah makhluk yang lahir seperti manusia, tetapi memiliki kemahakuasaan untuk mengatur kehidupan manusia. Nyaris tanpa kontrol, kecuali sekadar basa-basi kecil di BK (Badan Kehormatan).
Dominansi partai politik yang sangat masif dan eksesif berarak menduduki pemerintahan, mengintrusi beberapa institusi negara, kementerian, termasuk kursi kepala daerah.
Kompas (17/10/11) kembali menuliskan kekhawatiran terjerembabnya Indonesia ke arah negara partitokrasi. Tatanan politiknya mengatasnamakan demokrasi, tetapi kebijakan yang diambil kadang sarat dengan kesepakatan ilegal, tak bermoral, serta favoritism untuk kejayaan parpol. Petuah bijak JF Kennedy untuk menanggalkan loyalitas terhadap negara dimulai, tinggal jargon yang sunyi.
Situasi ini lebih kurang senada dengan pandangan Harod Lasswell dalam Psycopathology and Politics (1930), yang dikutip Jost dan Sidanius (2004), bahwa para pemimpin politik acap kali mengerjakan agenda terselubung, konflik kepentingan pribadi di atas simbol dan obyek publik, serta merasionalisasikan kepentingan pribadinya atas nama kepentingan rakyat. Senada pula dengan pandangan Thomas Hobbes, The Leviathan (1651), bahwa kehidupan para politisi cenderung kotor, kejam, dan pintas.
Kleptomania di ranah hukum juga tak kalah parah. Hukum yang seharusnya memandu perjalanan bangsa agar tetap berkeadilan, nyatanya ditegakkan setengah hati oleh aparat yang semestinya mengagungkannya. Polisi, jaksa, hakim, birokrat, hingga para petugas pajak yang semestinya menjadikan hukum sebagai panglima justru mengangkanginya untuk kepentingan hedonisme yang pintas.
Menyaru sebagai aparat yang berlindung di balik jubah hukum, mereka justru jadi mafia yang menjadikan hukum sebagai justifikasi untuk mencuri. Mencuri tuntutan, mencuri pasal, mencuri putusan, dan mencuri keadilan untuk nafsu serakah yang tamak.

Hukum jadi impoten

Hanya di zaman kleptolitikum kita bisa saksikan harta negara yang semestinya digunakan dengan bijak-karena didapatkan dari air mata, darah, dan perasaan keringat segenap rakyat-justru dijadikan bancakan oleh para punguasa. Kadang bahkan dilakukan dengan benderang, menjungkirbalikkan logika hukum.
Motonya sederhana: “Dari rakyat, dikorupsi oleh dan untuk partai politik”. Lokusnya bisa setiap jengkal republik ini. Modusnya juga beragam, mulai dari perombakan kabinet yang sekadar “dagang sapi” koalisi, pengangkatan wakil menteri yang menambunkan birokrasi, privatisasi, mark up anggaran, favoritisme, uang persahabatan, komisi, hingga “kotak durian”. Kodenya pun bisa beragam, mulai dari kopi, apel malang, hingga apel Washington. Celakanya, kleptomania kelas kakap ini seakan terlalu sakti bagi hukum kita yang mulai rabun senja. Hukum kita hanya kuat, keras, tajam, dan kejam kepada rakyat kecil, tetapi lunak, empuk, dan enak terhadap para “penggede”. Terlebih ketika nuansa politik terasa kental mengintervensi, hukum jadi impoten.
Pula cerita KPK, palang pintu terakhir yang semestinya diperkuat menjadi pedang yang tajam membabat dan menyiangi gulma korupsi, justru dianggap sebagai teroris bagi politisi korup. KPK pun hendak dirobohkan atau setidaknya dikerdilkan menjadi kemoceng yang membelai lembut para koruptor sehingga lantas sesekali bersin kegelian.
Sungguh, zaman kleptolitikum ini terasa seperti “zaman edan” dalam futurologi Jayabaya. Zaman yang membuat orang lupa diri hingga mengimani jikalau tidak ikut edan maka tidak akan kebagian. Sungguh, dibutuhkan kebersihan jiwa, eling lan waspodho, untuk menghadang arus besar zaman kleptolitikum agar nurani kita tak turut membatu.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro