Sunday 27 November 2011

Indonesia 2050 seperti Apa?

KOMPAS, SENIN, 17 OKTOBER 2011

Indonesia 2050 seperti Apa?

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF




D
engan jumlah warga sekitar 400 juta pada tahun 2050-jika pertumbuhan penduduk 1,48 persen per tahun berkelanjutan-Indonesia mungkin akan menggeser posisi Amerika Serikat yang kini berada di peringkat ketiga-setelah China dan India-dengan jumlah penduduk 325.000.000, berkat program keluarga berencana yang dijalankan.

China dan India dengan penduduk ma-sing-masing 1,3 miliar dan 1,1 miliar tampaknya akan tetap berada di puncak saat penghuni planet Bumi ini mencapai 9.850 juta (mendekati 10 miliar) tahun itu. Para pakar demografi umumnya mencemaskan laju pertumbuhan penduduk yang dahsyat itu jika negara-negara di dunia tidak cukup awas memperhitungkannya lebih awal. Hanya tersisa 39 tahun menjelang umat manusia berada pada angka yang mencemaskan itu. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali pasti akan mengundang masalah-masalah serius yang sulit diperkirakan akibatnya.

Mengapa demikian?

Kritik yang sering disampaikan diantaranya tebersitnya nuansa pesimisme dalam tulisan dan pernyataan-pernyatan yang berasal dari saya di berbagai forum dan media. Penilaian itu tentu mengandung unsur kebenaran. Namun, jika orang membaca latar belakang mengapa saya bersikap demikian, kadar tudingannya mungkin akan menurun.
 Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada tahun 2050, pertanyaan mencekam yang sering mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang berlaku sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni? Kemudian, dengan semakin dalam cakaran kuku asing di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan Indonesia yang sangat kumuh, kondisi bea cukai yang semrawut, dan perilaku korup politisi dan pengusaha hitam, apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sama sekali? Atau kita sudah menjadi budak rumah kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan.
Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia, bahkan dengan penuh kebanggaan perasaan syukur tetap menyertai kehidupan saya yang sekarang berusia 76 tahun. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang teramat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Sebut misalnya keadilan untuk semua warga, kondisinya jelas semakin memburuk dari hari ke hari, sementara mereka yang berada di puncak piramida adalah penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas. Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini? Biarlah publik yang menilai, apakah lontaran-lontaran kegemasan saya didasarkan pada ketulusan atau ada agenda tersembunyi yang ingin diraih, saya tidak hirau. Monggo ke mawon, kulo mboten kesah.
Fakta di bawah ini perlu mendapat perhatian. Coba kita turunkan angka-angka kerusakan lingkungan fisik ini, belum lagi kerusakan budaya yang permisif untuk kejahatan. Menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2003, laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Maka jadilah Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan ter-tinggi di muka Bumi.
Lagi, berdasarkan data resmi 2006, luas hutan yang rusak dan tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Anda tinggal mengalikan saja-jika tidak ada politik tegas dan keras yang diterapkan-bagaimana kira-kira Indonesia pada tahun 2050.
Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia. Berlaku tali temali di sini antara mengejar keperluan primer dan kerusakan lingkungan sebagai akibatnya. Buntut dari kerusakan lingkungan ini amatlah jauh: habitat hewan dalam berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia. Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur beran-takan.
Sebagai negara kepulauan yang cantik, Indonesia masih menyisakan sekitar 10 persen hutan tropis dunia. Hutan Indonesia memilki 12 persen dari jumlah spesies binatang reptil dan amfibi. Dihuni pula oleh 1.519 jenis burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Kita tidak bisa membayangkan jika kerusakan lingkungan, darat, laut, dan udara, berjalan seperti sekarang, bahkan mungkin semakin ganas, bagaimana nasib spesies-spesies itu pada tahun-tahun mendatang. Masihkah kita bangga sebagai manusia beradab mengacu pada sila kedua Panca-sila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Mohon dijawab pertanyaan ini dengan bahasa hati, tidak dengan bahasa kepentingan.
Dari sumber Wahana Lingkungan Hidup Indonesia kita disuguhi fakta kerusakan yang tidak boleh dianggap sepele. Di perbukitan Bandar Lampung, misalnya, kerusakan hutan mencapai 80 persen, umumnya oleh warga demi kelangsungan hidup mereka. Di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dari 100.000 hektar hutan bakau, 50 persen dalam kondisi rusak. Penyebab utamanya adalah perluas-an tambak yang tak terawasi dengan baik, di samping oleh kegiatan pertambangan minyak/gas yang beroperasi di kawasan itu.
Sebenarnya tidak ada sebuah pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan. Di Jawa, salah satu kawasan terpadat di muka Bumi, yang didiami 59 persen penduduk Indonesia, lahan persawahan dan perkebunan sudah kian habis, berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pergudangan, dan lain-lain. Jika distribusi penduduk tak mengalami pemerataan, pada 2050 tidak mustahil Pulau Jawa akan jadi kering kerontang di tengah lautan ke-miskinan golongan paria.

Kelapa sawit sumber devisa?

Tahun-tahun belakangan ini penanaman kelapa sawit digalakkan. Pada pertengahan 2010 di Indonesia terdapat 7,5 juta hektar perkebunan sawit, 40 persen milik rakyat, sementara di seluruh dunia hanya 13,1 juta hektar. Sawit menghasilkan 21,5 juta ton CPO (crude palm oil) per tahun. Diperkirakan tahun 2014 luas kebun sawit akan mencapai 10 juta hektar, sebuah sumber devisa yang tidak kecil.
Namun, berbeda dari tanaman karet yang dapat meresap air, kelapa sawit sebaiknya. Tanah sekitar akan jadi gersang, sumber-sumber air mengalami kematian. Jadi, rencana perluasan perkebunan kelapa sawit harus benar-benar dikaji agar tak terjadi serba kontradiksi ini: devisa mengalir, sementara lahan sekitar kekurangan air. Air dimana pun adalah sumber kehidupan paling utama.
Dengan penduduk 241 juta pada tahun 2011 saja Indonesia telah keteteran oleh berbagai masalah yang berimpit. Pada tahun 2050, jika rahim Nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan, karena yang berkeliaran adalah politisi rabun ayam plus pengusaha tunamoral, Anda bisa membayangkan kira-kira seperti apa Indonesia pada tahun itu. Apakah pada tahun itu cucu-cucu kita masih bisa tersenyum atau mereka harus meratapi nasib malangnya sebagai ekor ulah buruk dari generasi yang melahirkannya.



AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum
PP Muhammadiyah

0 comments:

Post a Comment