Sunday 27 November 2011

Negara Pancasila

KOMPAS, SABTU, 1 OKTOBER 2011

Negara Pancasila


Oleh YONKY KARMAN




S
eperti apa negara Pancasila? Dunia sebenarnya ingin melihat wujud konkret negara dengan ideologi unik itu. Beban terbesar pada negara Indonesia untuk membuktikan bahwa ideologi itu bukan hanya bagus dalam rumusan.

Dalam praktiknya, Indonesia lebih akrab dengan definisi “bukan negara agama, juga bukan negara sekuler”. Definisi sempit tersebut hanya melihat Pancasila dalam kerangka relasi antara agama dan Negara. Bahkan, definisi neithernor itu menjadi apologi penguasa dan sesungguhnya tidak operasional.
Menyikapi kegagalan negara untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan pencapaian terukur, pemerintah berkilah bahwa pencapaian dunia akhirat juga penting. Menyikapi gangguan ekstremis agama, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama.
Watak sekuler negara ditonjolkan dengan konstitusi yang tidak didasarkan pada suatu agama dan juga dengan terbukaan terhadap modernitas.

Problem menegara

Identitas negara yang serba negatif itu membuat gerak Indonesia berayun di antara dua ideologi, tidak bergerak maju membawa bangsa keluar dari jerat kemiskinan dan korupsi. Tanpa Pancasila, Indonesia tidak memiliki cita-cita untuk diperjuangkan bersama.
Sejatinya, Pancasila adalah soal perjuangan. Untuk itu, penyelenggara dan warga negara harus Pancasilais.
Kelalaian bersama selama ini adalah melihat Pancasila hanya sebagai dasar negara. Negara dilihat sebagai sebuah bangunan statis. Dengan tersedianya fondasi negara, seolah-olah selesai juga bangunan bernama Indonesia.
Namun Driyarkara memandang negara sebagai entitas politik yang dinamis, bagian dari aktivitas manusia dalam menegara. Negara Indonesia harus menegara bersama Pancasila.
Dalam perspektif menegara, kokoh tidaknya bangunan Indonesia bergantung pada seberapa jauh Pancasila sebagai ideologi yang hidup, terinternalisasi dalam perilaku penyelenggara dan warga negara. Begitulah Pancasila merupakan imperatif kategoris (norma) menegara.
Saat gonjang-ganjing bahwa Pancasila sudah ditinggalkan, pemerintah hanya melihatnya sebagai masalah sosialisasi dan kurikulum sekolah. Pancasila menjadi lebih sering tersua di media massa dan disebut-sebut dalam berbagai forum. Krisis ideologi yang begitu serius dan telah menelan korban jiwa dianggap selesai hanya dengan sosialisasi dan revisi kurikulum.
Problem serius Indonesia sekarang adalah mati surinya ideologi. Pancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. Ketika negara tidak Pancasilais, rakyatlah yang pertama-tama menderita.
Cukup banyak rakyat menjadi korban kekerasan karena penguasa tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang lebih lemah. Negara hanya menjadi pemadam kebakaran sosial atau, lebih buruk lagi, penonton.
Oleh karena itu, warga pun sulit melihat relevansi langsung antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari. Publik apatis dengan kesaktian Pancasila, yang seolah-olah hanya sakti untuk menghadapi komunisme pada masa lampau. Bersaing dengan fundamentalisme pasar dan funda-mentalisme agama, Indonesia termasuk negara yang mudah berada dalam cengkeraman (soft country) kapitalisme global dan paham keagamaan transnasional.

Negara yang mengelak

Pancasila sebenarnya cukup ampuh menangkal ideologi asing sebab nilai-nilainya diangkat dari kultur bangsa. Namun, mengacu Driyarkara, Pancasila tidak boleh hanya berhenti pada nilai-nilai luhur (ideifikasi), tetapi harus diperjuangkan menjadi konkret (idealisasi). Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide, tetapi harus menjadi cita-cita bersama.
Tanpa ideologi yang asertif, Indonesia sulit membendung penetrasi ideologi asing yang membuat Indonesia terpuruk dan sulit bangkit menjadi bangsa besar. Kita tetap akan dibicarakan sebagai negeri kaya dan bangsa yang berpotensi menjadi besar. Namun, kita tidak menjadi bangsa yang tangguh dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Oleh karena itu, menjadi Pancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan dalam agama. Pancasila bukan agama, meski juga tidak bertentangan, melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi besar bukan karena agamanya-banyak bangsa juga beragama-melainkan karena hidup sebagai insan Pancasilais, dengan Pancasila sebagai ideologi pembentuk moralitas bangsa.
Pancasila seharusnya menentukan perilaku penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit mengharapkan warga Pancasilais.
Dalam pasar bebas ide, warga akan lebih tertarik dengan ideologi alternatif. Sekularisme, hedonisme, materialisme, dan seterusnya. Sebagai ideologi tengah, Pancasila seharusnya menjadi pembeda Indonesia, asalkan nilai-nilainya dihayati secara menyeluruh dan konsisten.
Entah sampai kapan Indonesia seperti mengelak untuk dikenal dengan identitas tunggal positif atau profil ambigu itu dipertahankan. Jangan sampai muncul kesimpulan bahwa Indonesia tidak sekuler tetapi juga tidak religius. Tidak cukup hanya rakyat yang dituntut Pancasilais.
Harus ada sanksi tegas bagi kepemimpinan publik yang tidak Pancasila atau yang memakai rujukan lain yang bertentangan dengan Pancasila dalam memimpin.
Dalam negara Pancasila, mestinya kebebasan melaksanakan ibadah dihormati dan dijamin sejauh kebebasan itu tak melanggar tertib umum. Toleransi di Indonesia tidak boleh lebih buruk daripada di negara komunis atau sekuler.
Hukum agama tidak boleh ditinggikan di atas hukum sipil seharusnya bebas dari bias agama. Tidak boleh ada kelompok minoritas yang menjadi target viktimitisasi.
Dalam negara Pancasila, keadilan sosial seharusnya menjadi cita-cita bersama. Pemerintah berdiri di garis depan membongkar struktur-struktur yang memiskinkan rakyat. Negara menjadi regulator yang adil bagi rakyat untuk memiliki akses kepada kekayaan negeri. Tanggung jawab kita semualah mewujudkan negara Pancasila.



YONKY KARMAN
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta

0 comments:

Post a Comment