Sunday 27 November 2011

Ada Radikalisme Kedaerahan

KOMPAS, SABTU, 1 OKTOBER 2011


Ada Radikalisme Kedaerahan

Hotman: Revitalisasi Nilai Kebangsaan Lemah

SURABAYA, KOMPAS – Tumbuhnya radikalisme kedaerahan pada saat ini jauh lebih berbahaya bagi kehidupan kebangsaan dibandingan radikalisme dalam konteks lain, termasuk keagamaan. Ini dikatakan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Hotman M Siahaan, di Surabaya, Jumat (30/9).


Menurut Hotman, radikalisme dalam konteks kedaerahan ini salah satunya dipicu oleh otonomi daerah. Walaupun sebenarnya otonomi daerah itu sebagai perwujudan demokrasi, tetapi karena lemahnya revitalisasi nilai-nilai kebangsaan, akhirnya malah berkembang dalam bentuk radikalisme.
Hotman mengatakan, benih radikalisme selalu tumbuh pada kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Masyarakat yang merasa dizalimi negara. Bisa juga karena merasa bahwa sistem nilai yang sudah ada tidak lagi mempu menjawab perkembangan zaman sehingga menuntut adanya sistem nilai baru.
Dia mencontohkan adanya kelompok yang mengemas radikalisme di dalam konteks agama. Dengan demikian, nilai-nilai agama dipandang lebih sempurna daripada sistem ideologi yang ada. Kehidupan politik juga memberi kesempatan radikalisme demikian tumbuh. Terjadilah kerancuan dalam kehidupan politik karena politik itu punya ranah abu-abu, sementara agama hanya mengenal hitam-putih.
“Repotnya lagi, pemerintah memberi peluang tumbuhnya radikalisme. Bahkan terkesan membiarkan. Sehingga kini berkembang kelompok-kelompok radikal baru,” katanya.
Menurut Hotman, untuk mencegah merebaknya radikalisme, harus dilakukan revitalisasi Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok intelektual harus melakukan upaya revitalisasi ini untuk menyelamatkan keindonesiaan.
Sementara itu, muncul pendapat, bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu lalu, menunjukkan kelompok teroris masih terus menyebarkan ideologinya dan mengader generasi baru. Untuk itu, pemerintah didesak lebih giat lagi melakukan program deradikalisaasi dengan metode yang tepat sehingga bisa mencegah progres regenerasi kelompok garis keras tersebut.
Harapan itu disampaikan mantan aktivis Jemaah Islamiyah, Nasir Abbas; mantan santri Pondok Pesantren Ngruki, Noor Huda; dan pengamat terorisme yang sekaligus mantan aktivis Negara Islam Indonesia Komendemen Wilayah IX, Al-Chaedar, secara terpisah, di Jakarta, Jumat (30/9). Mereka menanggapi bom bunuh diri yang terus berulang di Indonesia dalam 10 tahun ini. Aksi terbaru, bom bunuh diri diledakkan Ahmad Yosepa alias Hayat di GBIS Solo, pekan lalu.
Nasir Abbas menilai, ledakan bom di Solo itu menggambarkan paham garis keras masih ada dan ancamannya nyata. Lebih dari itu, kemunculan Ahmad Yosepa, yang meledakkan diri, juga memperlihatkan keberadaan jaringan Cirebon. Ini merupakan salah satu jaringan kecil hasil sempalan dari organisasi teroris yang lebih besar.
“Jaringan Cirebon itu lebih banyak belajar membuat bom dari bacaan sendiri dan internet. Bisa jadi aksi mereka itu hasil kepurusan interen kelompok dan bukan hasil keputusan organisasi besar,” katanya.
Menurut Noor Huda, sebenarnya Hayat termasuk generasi baru teroris yang direkrut sekitar 2007 atau 2008. Dia belajar dari sisa-sisa jaringan murid Noordin M Top yang belum tertangkap Densus 88.
Al-Chaedar menyoroti program deradikalisa-si pemerintah. Munculnya bom bunuh diri yang terus berulang beberapa tahun belakangan menggambarkan bahwa program itu perlu dievaluasi. Salah satunya, program itu dianggap terlalu kaku sehingga justru sulit untuk memasuki alam pemikiran kaum ekstremis. Karena itu, metodenya perlu dibuat lebih fleksibel sehingga bisa menyentuh kelompok-kelompok garis keras.

0 comments:

Post a Comment