Wednesday, 16 November 2011

Goes to Jogja

Woow!!! I had a trip. “TRIP DADAKAN”. Yesterday, on Saturday November 12, 2011. We went to Jogja. Frankly, yesterday I and my friend, Bang Andri, would hunting photos in Center Semarang “Semarang Bawah”, took a pleasure trip, looked for places unvisited before. But because the weather is hot, I had a little bit discouraged. Suddenly, Bang Andri had a idea to hunt photos in Jogja. Yes. No. Yes. No. hahaha. Finally I said yeaah. We went at 10.00 and got the bus at 11.00. We arrived in Jombor Terminal at about 14.00. Our destination was Malioboro. We went to there by trans jogja. Arrived in Malioboro, we thought that how we come back to Semarang. We went to Jogjakarta Station to looked for ticket. My first estimation was nothing train to Semarang. That’s truuuee.

Stasiun Jogjakarta

I walked back and used the time to take a pict of Jogjakarta Station. Ticket for going home was still not clear yet, we decided to eat at Mcd. Menu Panas Reguler made our stomach was full and we were ready to went around. First route was Malioboro Street. In outskirts Malioboro , I saw singing beggar. They were creative because one of them used angklung.




“Becak, Mbak, becak.., lima ribu sampai keraton,” “Mboten, Pak.” All along the road, we were offered to ride pedicab. We were still walk until I saw a traditional markets, Beringharjo, which often see on FTV. Not far from the market, there were museum and replica of bike. Unique.



After I took pict the museum and replica of bike, we asked to the youth of photographer where the palace is. We went to there. Unfortunately, the palace has closed because the time already showed 16.00. Suddenly there was someone, pedicab driver, pedicaber haha, offered his service. “Ini Mbak, keraton sudah tutup. Besok aja kesini lagi. Atau mau liat-liat daerah keraton. Ada tempat kereta raja, lukisan-lukisan, tempat pemandian raja, banyak Mas, Mbak, naik becak 20 ribu. Ditunggu sepuasnya.” “15 ribu ga boleh, Pak?” “Waduh, Mas..nggak berani saya, sudah murah itu, ditunggu lagi.” “Ya sudah, Pak.” Aku bengong liat jam. Kita mau pulang jam brapa coba? *tanya dalam hati. “Kita mau pulang jam berapa, Bang?” “Udah, liat aja dulu..” NGOOOK.

Halaman depan Keraton Yogyakarta

Kereta Keraton
Istana Taman Sari




And finally we went home. *Yeeaayy kita pulang!!* Arrived my boarding house at 21.55. Took a bath and slept. *Thanks God,, we have a nice trip.*





Monday, 14 November 2011

The Flood in Faculty of Law Diponegoro University

I took this picture on Wednesday, November 9 th 2011. Heavy rain was happening at about 15.30 while I had nationality exam. In picture seemed that the height of flood was swift car tires approximately. The heavy rain stopped at about  17.00.
One of the heavy rain effects except the flood was the people to be “don’t give in”. Three intersection of Sirojudin Street , Toko Tembalang, Masjid Kampus was very crowded. The people wanted to go home early because early evening, maghrib. This made me to shake my head and smiled. It very seemed their ogoism. Maybe, if I was not driving at the time, I would take a pic how the expression of the driver haha.
Maybe, that is one of the diseases in nowadays, the little incident as an example become mirror to us so that we are not selfish when we are caught in a situation “galau pulang cepet”



Monday, 7 November 2011

Qurban

Edisi Idul Adha menampilkan sisi kegalauan para hewan qurban, tidak hanya “terdakwa” tetapi juga para penonton.









penonton menikmati dengan seksama



Fakultas Hukum

Gambar ini saya ambil hari Sabtu 5 November 2011 sekitar pukul 6 pagi.
Cuaca mendung. Kampus juga sepi karena pekan UTS 2011/2012.
Bau tanah setelah diguyur hujan semalam.



4 pilar: keadilan, kepastian, kemanfaatan, kasih sayang


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro



Sunday, 6 November 2011

segelas

iseng setelah belajar buat UTS pagi itu.
kekurangan objek.
dan hasilnya segelas kopi.
jadi penenang dan pemenang.



Tuesday, 1 November 2011

Ending

ENDING




Kalau dunia ini panggung sandiwara.., biarkan aku jadi penonton saja…, aku cape Tuhan!
Sent by: .. ..
021928899xx
28.12.06




TUHAN tersenyum ketika aku membaca SMS itu.
Kenapa manusia satu ini ingin meminta yang enak saja? pikir Tuhan.
Ah, bukan manusia yang satu ini saja. Semua manusia seperti itu, Tuhan menjawab sendiri gumamannya.
Tetapi manusia yang satu ini luar biasa karena ia bisa berulah macam-macam, Tuhan jadi ingin lebih memerhatikannya.
Ah, Aku memerhatikan semua umatKu, cetus Tuhan lagi.
Manusia ini mengeluh cape, sudah seharusnya Kutolong, Tuhan berpikir lagi.
Ah, tetapi bukanlah capenya juga karena ulahnya dia sendiri? Tuhan menjawab lagi.
Tidak. Manusia mempunyai batas kekuatan, sahut Tuhan.
Tetapi Aku tidak pernah membuat umatKu susah. Sudah seharusnya ia mengatasi akibatnya sendiri. Manusia sudah Kuciptakan begitu sempurna. Dengan kesempurnaannya, ia harus kuat, Tuhan berkata demikian.
Bukankan Tuhan Maha Penolong, Maha Pemurah?
Hei…, manusia… kau jangan merayuKu!
Ini tidak merayu. Ini sungguhan! Serius! Bukankah Tuhan Mahabaik?
Ah, gombal! Sehabis Kutolong, kau akan mengulangi kesalahanmu lagi.
Sumpah, Tuhan… aku kapok!
Kapan sih manusia pernah kapok? Nggak usah pake sumpah segala deh. Basi!
Terus aku gimana dong, Tuhan?
Memangnya Cuma kamu satu-satunya manusia yang Kupikirin? Masih banyak manusia lain yang harus Kuurus, tahu?!
Uruslah aku, Tuhan…
Kamu bisa mengurus dirimu sendiri.
Ah, Tuhan jahat!
Itu kan katamu! Kata umatKu yang lain, Aku Maha Baik!
Terus..?
Nggak ada terus! Ending!

Demokrasi Indonesia

KOMPAS, SENIN, 17 OKTOBER 2011

Demokrasi Indonesia

Oleh RADHAR PANCA DAHANA



S
ejarah politik dan demokrasi Indonesia tak bisa ditolak berkait dengan sejarah partai politik.

Sejarah lembaga modern ini mengambil peran cukup penting dalam pergerakan kemerdekaan, tetapi pada saat bersamaan juga menimbulkan masalah, pada pemerintahan kolonial di masa awal hingga masa pemerintahan lokal selepas kemerdekaan.
Apa pun yang hendak dikatakan tentang signifikan atau vitalnya peran parpol dalam sejarah republik ini, fakta bahwa parpol dibentuk berdasarkan kepentingan (yang cenderung) ideologis juga tak terbantahkan. Bagi masyarakat Indonesia, terlebih masa prakemerdekaan, ideologi adalah sebuah “makhluk” baru. Persis sama dengan nasionalisme atau rasa kebangsaan.
Maka, pengelompokan masyarakat berdasarkan ideologi ini sesungguhnya bentuk separasi sosial yang berjalan cukup cepat. Di beberapa bagian bahkan terasa dipaksakan. Ideologi diperkenalkan melalui program-program santiaji atau propaganda yang masif dan sistematis. Proses ini sama sekali berbeda dengan proses penerimaan adab dan adat baru atau akulturasi dari bangsa Indonesia yang biasanya berjalan lamban, tidak masif, digestif, dan berlangsung lama.
Dari proses situ pun kita mafhum bagaimana sejarah ideologi, juga parpol, menimbulkan masalah yang nyaris permanen. Bukan hanya dalam kehidupan politik itu sendiri, juga pada realita kenegaraan, kebangsaan. Hal itu disebabkan antara lain sejarah politik dan demokrasi di atas-jika tidak ditunggangi-telah didominasi oleh parpol. Sistem politik serta berbagai institusi dan mekanisme yang dilahirkannya telah secara tak terduga memo-sisikan parpol dalam posisi yang cukup sentral sehingga memiliki peran yang desisif serta konstitutif dalam kehidupan bernegara, termasuk berpemerintahan kita.
Padahal, sekurangnya ada tiga hal untuk mempertanyakan posisi dan peran parpol dalam kehidupan (politik) modern negeri ini. Pertama, benarkah parpol dan ideologi memiliki dasar rasional sebagai model pengelompokan masyarakat Indonesia yang sebelumnya tak pernah mengalami itu? Tidakkah proses separasi sosial seperti ini justru menciptakan guncangan pada tatanan serta model pengelompokkan tradisional? Tidakkah ideologi atau parpol justru menjadi stimulus-jika bukan sumber-masalah atau konflik kesatuan-kesatuan kebangsaan kita?
Kedua, secara kultural, adakah dalam lembaga baru yang sangat kuat ini telah berkembang sebuah adab atau budaya dengan landasan tradisi yang kuat atau juga fundamen filosofis, epistemologis, dan antologisnya yang (juga) adekuat?
 Ketiga, secara historis, apakah sesungguhnya parpol dan ideologi yang mengambil peran terpenting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan negeri ini? Jawabannya tidak! Bukanlah kesadaran “parpol” atau “ideologis” yang menggerakkan para perintis melahirkan organisasi, gerakan dan perlawanan, termasuk bersepakat mencetuskan Sumpah Pemuda dan akhirnya proklamasi. Negeri ini justru dibangun, dibentuk, dan akhirnya didirikan sebagai lembaga modern atas kontribusi pemuda dan pemuka daerah-daerah. Merekalah yang penuh jasa, tetapi mereka dinafikan oleh sejarah (politik) kita.

Pelayan elite

Bagaimanapun, ideologi dan parpol sudah jadi fakta sejarah. Fakta ini telah menempatkan kita pada sebuah realitas baru dimana kita menerimanya apa adanya. Sebagai bangsa, saat ini kita tak punya niat dan kekuatan yang cukup untuk mengoreksi apalagi mengubahnya.
Resistensi pertama tentu datang dari parpol itu sendiri. Dalam posisinya di semua dimensi yang begitu kokoh, parpol dipastikan akan menggunakan semua sumber daya dan arsenalnya untuk mempertahankan dominasinya. Tetapi, tentu saja kita tak boleh berdiam diri, menyerahkan misalnya pada waktu untuk tumbuhnya negarawan atau politikus dengan pikiran-pikiran kebangsaan yang besar, yang berkemampuan berpikir dan bertindak di atas dirinya sendiri. Sebagai pemangku kepentingan bangsa ini, kita tak boleh berhenti berusaha untuk keluar dari siklus parpol yang memabukkan ini.
Demokrasi Indonesia harus terus berkembang dengan cara belajar melalui prosesus yang tak henti mengoreksi dan mengkritik diri sendiri. Kita harus mampu berkelit dari jebakan historis dan epistemologis dari demokrasi yang-sebenarnya-ternyata menipu publik, menipu ideal-idealnya sendiri. Tanpa perlu retorika, dengan hati jernih kita harus mengakui hal ini.
Demokrasi, di mana pun, telah terjebak dalam pusaran kepentingan yang akhirnya jadi melulu pelayan dari elite. Inilah sesungguhnya tragik dari demokrasi modern dari tempat asalnya: Eropa Barat atan Kontinental. Ia telah dirampok dari bentuknya yang genuine dan orisinal dari pulau-pulau kecil dan polis-polis negeri maritim Yunani. Romawi pada mulanya, yang membuat demokrasi terpilih sedemikian rupa jadi semacam mekanisme perekrutan untuk penguasa yang semula kolegial, lalu menjadi personal di bawah Julius Caesar.
Persoalan demokrasi saat ini lebih pada sekelompok oligarki yang memainkan kekuasaan ketimbang siapa boneka yang mereka pasang dan dimainkan. Ini pola demokrasi mutakhir yang mestinya kita renungkan. Sebagai bahan untuk menengarai persoalan: bila demokrasi dipertahankan, demokrasi macam apa yang cocok dengan realitas kita?

Demokrasi yang bineka

Saya kira, apa pun sistem bernegara atau berpolitik, bagi negara ini tidaklah arif jika ia dilucuti dari kenyataan sejarah, antropologis, dan kulturalnya sendiri. Kenyataan ini memberi tahu pada fakta: negeri ini disusun oleh 700 lebih suku bangsa. Artinya, 700 lebih sejarah adab, adat, bahasa, termasuk cara bermasyarakat, bahkan berbangsa.
Selama hampir 70 tahun negeri ini sudah berusaha keras menciptakan norma, standar-standar nilai, atau adab dan adat baru bagi 700 suku bangsa. Tetapi, mohon maaf, kita tidak-mungkin belum-berhasil. Inilah kenyataan yang membuat siapa pun di negeri ini, bahkan mereka yang di pucuk kekuasaan, tak akan mampu memberi contoh, atau menyodorkan standar nilai dan norma, adat dan adab apa yang bisa diterima oleh semua suku bangsa itu. Para pemimpin itu tidak mampu dan tidak tahu.
Maka, betapa kan jadi ketololan besar jika sebagai institusi baru dan modern, negara atau (partai) politik, misalnya, hendak menciptakan semacam “universum” bagi semua 700 suku bangsa itu. Hal itu bukannya hanya tindakan pandir yang tiada guna, hanya mendapatkan jalan buntu, ilusif, dan akhirnya juga jadi semacam pemberangusan dan pembunuhan sistematik dari keragaman luar biasa itu.
Untuk itu, bila demokrasi tetap harus dibangun, sungguh sangat bijak jika berlandaskan pada varian-varian adat dan tradisi itu. Adalah demokratis, sesungguhnya sebagai misal, kita memberi ruang pada setiap adat untuk mengembangkan sistem bermasyarakat, berpolitik, bahkan hingga pada sistem perekrutan atau kaderisasi kepemimpinannya sendiri. Siapa yang harus memimpin sebuah komunitas adat hanyalah adat itu yang tahu, yang sudah memprosesnya ratusan dan ribuan tahun.
Di sini, negara adalah faktor kuat yang mempersatukan semua itu dalam kepentingan yang sama. Konstitusi mengatur bagaimana negara melakukan tugas-tugas itu, memfasilitasi, mendorong, dan memberi sanksi; tidak menciptakan universum. Pekerjaan terakhir ini hanya bisa dilakukan oleh sebuah negara yang memiliki durasi sangat panjang, seperti China. Satu hal yang juga gagal dilakukan Babylonia, Sumeria, Mesir, atau India.
Tentu, mesti ada penjelasan detail mengenai ide ini. Itu bukan masalah, yang penting adalah semangat, etos, dan sikap mental yang kuat untuk jadi diri sendiri sesuai dengan realitas yang ada. Daerah harus berdaya, bukan hanya karena faktor sumber daya ekonomisnya, juga sumber daya sosial dan kulturnya. Ketiganya harus teraktualisasi bersama tanpa dominasi satu atas lainnya.
Maka, bineka tunggal ika-bukan seperti yang dimaksud Mpu Tantular, tetapi oleh para pendiri bangsa-akan mendapatkan makna dan pengalaman yang sesungguhnya.
Apakah sistem itu demokratis atau bukan, bukan di situ masalahnya. Ia hanya terminologi dan retorika. Kita kembali ke substansinya, yang secara mengagumkan akan kita temui justru pada realitas-realitas lokal itu. Realitas mutakhir yang memperlihatkan politik begitu serakah, korup, haus kekuasaan, khianat, penuh selingkuh, bahkan menginisiasi kekerasan di semua level, disebabkan pemikiran ideologi kita yang ilusif dan obsesif.
Realitas obyektif akan menyadarkan kita, kekuatan itu sebenarnya tidak berada di pusat kekuasaan, apalagi di segelintir elite. Kekuatan itu justru ada di daerah-daerah. Maka, jadilah Jawa, Jawa yang sesungguhnya; Bugis, Bugis yang sesungguhnya; Batak, batak yang sesungguhnya; dan seterusnya. Maka, kemudian, kita bersama akan menjadi Indonesia yang sesungguhnya.
RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan